Jumat, 01 Januari 2016

Democracy and Human Rights



SIKAP PEMERINTAH MYANMAR TERHADAP MINORITAS ISLAM ROHINGYA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH DAN HUKUM INTERNASIONAL

NAMA : MARFI ARINDO YUSNI (20130510151)
Paper ini dikumpulkan sebagai tugas Uji Kompetensi 1 Mata Kuliah Kajian Demokrasi dan HAM yang diampu oleh Prof. Dr. Bambang Cipto, MA, dan asisten dosen Idham Badruzaman, S.IP., MA.



 








1 JANUARI 2016


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
TAHUN 2016


ABSTRAK
Paper ini didasarkan pada permasalahan yang dialami oleh minoritas Muslim Rohingya yang hak-hak dasarnya telah diabaikan,serta upaya apakah yang harus dilakukan secara hukum internasional agar genosida dan kebijakan diskriminatif dapat dicegah di Myanmar. Hasil dari paper ini menyimpulkan bahwa kebijakan politik dan hukum Pemerintahan Myanmar telah melanggar ketentuanhak-hak Konvensi tentang diskriminasi, bukan saja dibuktikan melalui fakta minoritas Muslim Rohingya yang tidak memiliki statuskewarganegaraan, tetapi juga aparat keamanan negara dan penduduk mayoritas Budha telah melakukan genosida dan massacre, serta pengusiran lainnya. Untuk mencegah kelangsungan praktek kejahatan genosida tersebut di Myanmar, bantuan kemanusiaan dan intervensi kemanusiaan dan penetapan hukum secara diplomatis oleh negara-negara ASEAN sangat diperlukan.

PENDAHULUAN
Genocide (genosida) atau ethniccleansing yang mengancam nasib minoritasMuslim Rohingya, di Myanmar seolah-olahluput dariperhatian masyarakat dunia. Tidak diketahui secara pasti, mengapa masyarakat dunia terlihat tidak peduli dengan tragedi kemanusiaan yang sudah menimpa minoritas Muslim Rohingya tersebut. Bahkan beberapa media internasional dan nasional,sangat tertutup mengenai permasalahan tersebut. Apakah karena Myanmar dipandang sebagai negara tertutup karena sejarah kekuasaan junta militer?. Ataukah karena masa transisi politik yang mengarah pada kondisi demokrasi sudah mulai di ambang pintu. Penguasa militer yang akan lengser dengan kekuatan civil society dipimpin Aung San Suu Kyi terkesan tidak rela menyerahkan kekuasaannya. Ada dugaan bahwa penguasa militer masih menunda suksesi, dengan menjadikan minoritas Muslim Rohingya sebagai kambing hitam dalam proses suksesi kekuasaan tersebut. Tudingan masyarakat internasional terhadap kasus genocide, massacre, atau ethnic cleansing terhadap minoritas Rohingya telah menjadi isu penting sejak bulan Agustus 2012.
Kebijakan hukum dan politik pemerintah Myanmar terhadap Minoritas suku Rohingya menjadi isu hukum internasional yang relevan. Pertama, minoritas Muslim Rohingya telah tinggal berabad-abad di Myanmar merupakan fakta historis. Namun, perlakuan pemerintah tidak mengakui mereka sebagai warga negara telah menimbulkan persoalan hukum dan HAM. Sebab, kebijakan politik yang diskriminatif atas satu suku dan suku lain bertentangan dengan Konvensi Anti-diskriminasi dan juga Konvensi Kewarganegaraan. Penggunaan kekerasan baik karena konflik bersenjata internasional maupun konflik bersenjata non-internasional telah mendorong masyarakat internasional melakukan pencegahan dan penindakan dengan model penyelesaian secara damai. Namun, jika cara-cara damai tidak dapat ditempuh karena alasan kedaulatan negara (state sovereignity), maka digunakan intervensi kemanusiaan yang bersifat menghukum. Upaya untuk mengurangi penderitaan, digunakan bantuan kemanusiaan (humanitarian assistance). Perbedaan antara keduanya yaitu bantuan kemanusiaan lebih berorientasi pada penyelamatan korban kedua belah pihak dengan menyediakan berbagai kebutuhan makanan, kesehatan, dan tempat pengungsian. Pelaksanaan bantuan kemanusiaan dapat dilakukan tanpa harus memperoleh keputusan dari badan organisasi dunia. Sedangkan intervensi kemanusiaan penggunaan kekerasan dengan cara pengiriman militer yang dimaksudkan untuk menekan dan menghentikan tindakan kekerasan, dan dalam penyelenggaraannya harus dipertimbangkan melalui putusan atau resolusi Dewan Keamanan PerserikatanBangsa-bangsa (DK PBB).

PEMBAHASAN

a.       Sejarah Genocide dan Ethnic Cleansing 

Genosida adalah bentuk kejahatan kemanuasiaan, antara lain perlakuannya melakukan penyiksaan, pembunuhan, pengusiran, pembakaran, pengambil alihan tanah dan barang, yang dilakukan baik secara sengaja sistematis oleh penguasa. Genosida terkadang disamakan dengan ethnic cleansing, dimana unsur suku, dan kesamaan agama, serta identitas sejarah, serta budaya lainnya. Menurut Larry May, bahwa kejahatan ethnic cleansing melibatkan adanya suatu kebijakan yang disengaja oleh suatu grup/suku tertentuuntuk memindahkan secara paksa, dan kekerasan atau diteror agar penduduk sipil lainnya atau grup agama lainnya pindah ke wilayah geografis tertentu (May, 2005).
Sederet kasus tentang genocide, massacre atau ethnic cleansing pada Perang Dunia II, antara lain pengejaran Yahudi di zaman Nazi Jerman dibawah kekuasaan diktator Adolf Hitler (Starke, 1989). Diakhir perang dingin, tragedi hitam genocide dan ethnic cleansing juga terjadi ketika bangsa-bangsa Balkan, seperti Bosnia 1992, Albania, sebagai pewaris kekuasaan Turki Osmani, dibersihkan oleh pemerintahan komunis Yugoslavia.
Kasus genosida di Rwanda tahun 1994, menunjukan konflik horizontal dan vertikal antara suku Tutsi dengan faksi Hatu. Tragedi berdarah di Rwanda tersebut telah menelan korban 800 ribu orang dari kedua belah pihak. Tragedi kemanusian di Rwanda tergolong paling buruk. Salah satu sebabnya karena PBB yang dipimpin Koffi Annand ketika itu tidak cukup tanggap untuk menghentikan berbagai pembunuhan dan pembantaian terhadap kedua suku tersebut di Rwanda. Hal ini terjadi sebagai akibat proses demokratisasi dari Negara-negara Balkan dan jajahan Inggris, dengan perjuangan untuk mendirikan hukum untuk mendeklarasikan Negara tersendiri. Sikap Presiden Clinton tidak mau terlibat dalam konflik tersebut, mengingat beberapa anggota militer AS tewas di Somalia. Namun, tindakan yang berlebihan dan tidak mengormati hak-hak fundamental dan hak-hak kebebasan minoritas Bosnia- Herzegovina, dan Kosovo dapat memantik masyarakat dunia untuk mengutuk tindakan Yugoslavia.
Menggunakan kekerasan dan pemaksaan, serta melakukan diskriminasi merupakan kejahatan yang tidak beradab untuk mencapai tujuan politiknya. Intervensi kemanusiaan dijadikan pilihan atas dasar pertimbangan dan putusan DK PBB, manakala telah terjadi bahwa selain adanya pelanggaran HAM berat juga bertentangan dengan hukum humaniter internasional. Sehingga jaminan perlindungan akan hakhak pendudukan termasuk hak-hak untuk menghormati minoritas Kosovo mutlak diperlukan (Debbas, 2000). Bencana yang mengerikan tersebut mendorong umat manusia menjadi pengungsi dengan penuh perjuangan untuk mencari tempat. Meskipun dalam kenyataannya, mereka sebagai pengungsi internasional acapkali berhadapan dengan berbagai kesulitan. Sebagaimana hal ini juga diderita minoritas Muslim Rohingya.

b.      Nasib Minoritas Muslim Rohingya 

Minoritas Muslim Rohingya di Myanmar menjadi suatu masyarakat yang memiliki nasibsangat memprihatinkan juga terkucilkan di tempat tanah kelahirannya sendiri.Nasib tragis dialami minoritas Rohingya yang tinggal di utara Arakan, tepatnya di negara bagian Rakhine, Myanmar. Sebuah catatan menunjukkan, lebih dari 6.000 kaum muslim meninggal dunia akibat kekejaman mayoritas Budha yang didukung junta militer Myanmar. Akibat kekejaman itu ribuan muslim Rohingya terpaksa mengungsi ke negara yang terdekat, yakni Bangladesh dan Malaysia, bahkan sampai di Aceh. Mereka yang tidak bisa meninggalkan negara itu harus menerima perlakuan kejam tentara.
Beberapa faktor yaitu sejarah, hukum, dan sosial ekonomi dapat menjelaskan mengapa minoritas Muslim Rohingya tidak memiliki status kewarganegaraan dan menjadi korban Negara-negara Barat khususnya anggota DK PBB tetap merasa tidak peduli ketika di Negaranegara yang terjadi konflik tidak memberikan keuntungan bagi Negara-negara besar. keganasan sebagian aparat Myanmar. Pertama, masyarakat Rohingya merupakan kaum imigran yang datang ke Burma, beberapa abad silam. Sebagian berpendapat, bahwa Rohingya berasal dari bahasa Arab Rahama (kasih sayang ; bahasa arab) yang berasal dari kesultanan di Bengal. Dari postur tubuh dan bahasa, mereka cenderung memiliki kesamaan tampilan fisik dan kebahasaan dengan bangsa Bangladesh. Penggunaan bahasa mereka berkaitan dengan bahasa Chitagonian yang digunakan kebanyakan orang wilayah perbatasan bagian selatan Bangladesh. Secara geografis, wilayah Arakan (Rakhine) kebanyakan mereka tinggal di wilayah berbatasan antara Bangladesh dengan Arakan wilayah Burma Barat (Myanmar). Kehadiran mereka di Arakan, Burma Barat telah berafiliasi dengan penjajahan Inggris. Pada zaman Jepang, mereka terkucilkan karena tidak berkolaborasi dengan penduduk asli Burma.
Saat ini penduduk Rohingya di Myanmar, diperkirakan sekitar 800.000 orang. Sekitar 250 ribu orang melarikan diri menjadi pengungsi ke Saudi Arabia, Pakistan, India, Malaysia, dan juga Indonesia. Umumnya mereka datang ke Indonesia untuk mencari suaka politik karena pengusiran dan pembantaian. Sekitar tahun 1988, Rohingya tertindas ketika militer berkuasa di Myanmar. Pada tahun 1990 suku Rohingya diperbolehkan untuk memberikan suara dalam pemilihan umum. Sekitar 80% penduduk Rohingya memilih Partai Liga Demokrasi, pimpinan Aung San Suu Kyi, yang merupakan lawan dan musuh militer. Namun, kontribusi politis minoritas Muslim Rohingya juga tidak diakui Aung San Suu Kyi, yang dipastikan akan menjadi tokoh nomor satu Myanmar. Argumentasi Suu Kyi bahwa “suku Rohingya sebagai imigran ilegal”. Kedua, minoritas Muslim Rohingya menjadi warga masyarakat yang tidak memiliki status kewarganegaraan. Mengingat kebijakan-kebijakan hukum dan politis.
Sejak dibuatnya dan diberlakukan UU Keimigrasian, pada tahun 1974, Pemerintah Myanmar  mulai memberikan tanda pengenal penduduk. Terkecuali kepada suku Rohingya, semua suku-suku bangsa India, China, Bangladesh, dan suku asli Burma seperti Chin dan Karen (suku asli), memperoleh kartu identitas sebagai warga Negara. Tetapi, Rohingya hanya memperoleh sertipikat terdaftar Orang Asing (Foreign Registration Cards). Rohingya tidak memperoleh kewarganegaraan karena hanya memiliki status sebagai orang asing. Tidak hanya itu saja, citra Rohingya semakin memburuk ketika sebagian Rohingya tersebut diduga terlibat didalam jaringan Al-Qaeda, sebagai gerakan teroris. Ketiga, dalam konsekuensi masalah hukum dan kebijakan politik diskriminatif tersebut, semakin memburuknya kondisi sosial ekonomi Rohingya. Kondisi hidup mereka jauh dari kata layak darilayak untuk memperoleh pekerjaan pantas. Tidak tersedianya pelayanan pendidikan, dan kesehatan, begitu juga kehidupan mereka tidak sejahtera. Pada awalnya Pemerintah junta militer, Presiden Thien Sien tidak pernah peduli terhadap pengusiran masyarakat. Tidak mengherankan jika mereka umumnya menjadi penduduk yang miskin.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian paper diatas, sangat terlihat jelas bahwa kebijakan hukum dan politik yang sudah diterapkan oleh pemerintah Myanmar terhadap suku minoritas Rohingya sangat terlihat timpang, mengingat memiliki keterkaitan dengan sejarah dan semakin bertumbuhnya negara-negara moderndi Asia, yaitu Pakistan, India, Bengal Bangladesh, dan juga Burma. Pertama, secara historis maupun secara kebahasaan, minoritas Rohingnya lebih dekat kepada asal usul sejarah kekerabatan dengan masyarakat/bangsa Bengal Bangladesh. Adapun nasib minoritas Rohingya yang terkucilkan itu sesunguhnya merupakan permasalahan konflik antara suku asli (Burma) dengan suku-suku pendatang sebagaimana Cina, India dan Rohingya.Kondisi tidak menguntungkan Rohingya karena junta militer Pemerintahan Myanmar tidak rela melepaskan kekuasaannya pada kekuatan civil society. Kecurigaan masyarakat Rakhien pada Rohingya adalah jelas selain didukung oleh faktor politik yang semula beraplikasi dari Inggris, tuntutan otonomi menjadi bagian khusus. Tidak ikut serta dalam penandatanganan dokumen pembentukan Negara Myanmar dan dugaan keterlibatan dengan organisasi Al-Qaeda merupakan faktor penyebab timbulnya diskriminasi.
Kedua, kebijakan Pemerintah Myanmar terhadap minoritas Rohingya, terbukti melanggar hukum internasional, baik yang terkait dengan status hukum yang didasarkan pada UU Keimigrasian dan kewarganegaraan maupun pada upaya-upaya untuk menutup akses kesejahteraan bagi minoritas Rohingnya termasuk pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan kesejahteraan. Secara sosial ekonomi mereka menjadi masyarakat yang miskin, dan begitu mudah dapat dijadikan obyek pengusiran, perampasan harta kekayaan mereka, termasuk juga penyiksaan yang tidak didasarkan peraturan hukum. Penegasan pemerintah yang terlibat dan membiarkan tindakan kekerasan itu berlangsung dan menempatkan minoritas Rohingnya sebagai penduduk yang tidak berkewarganegaraan adalah bukti pelanggaran terhadap konvensi anti-diskriminasi dan konvensi genosida.
Ketiga, upaya untuk membebaskan Minoritas Islam Rohingya di Myanmar, negara-negara yang tergabung di OKI, ASEAN telah memfasilitasi adanya kesepakatan untuk memberikan tidak saja bantuan  kemanusiaan secara kolektif. Melainkan juga penggunaan intervensi kemanusiaan dengan mengirimkan Tim Penjaga Perdamaian dari DK PBB.

DAFTAR PUSTAKA
 
Debbas, V.G. 2000. The Functions of United Nations Security Council in the International Legal System, dalam Michael. Byer, The Role of Law of in International Politics. Essay in International Relations and International Law, Oxford University Press.
May, L.2005. Crimes Against Humanity: A Normative Account, Cambridge University Press.
Starke. J. G. 1989. An Introduction Toward International Law, Butterworth, Sydney.
Diakses melalui (http://.hrw.org./ reports/2000/malaysia/maybr008-01). Desember2015
Diakses melalui (http:// ipsnews.net/2012//06/ethnic-cleansing-of muslim-minority, 2015).
Diakses melalui (http://rohingya.org/portal/index/Burma/ui-pressrelease.html) Desember 2015